PBB Tegas Kutuk Serangan Israel ke Rumah Sakit Nasser 2025

Rumah Sakit Nasser

Netter.co.id – Pada 25 Agustus 2025, serangan udara Israel menghantam Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, Jalur Gaza, menewaskan sedikitnya 21 orang, termasuk jurnalis, tenaga medis, dan relawan. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dengan tegas mengecam aksi ini, menyerukan penyelidikan segera dan perlindungan bagi warga sipil. Serangan “double-tap” ini, yang menargetkan tim penyelamat setelah serangan awal, memicu kecaman internasional dari negara-negara seperti Prancis dan Inggris, serta organisasi jurnalis. Rumah Sakit Nasser, salah satu fasilitas medis terbesar di Gaza selatan, menjadi simbol krisis kemanusiaan yang kian memburuk. Artikel ini mengulas serangan, respons PBB, kecaman global, dan dampaknya terhadap krisis Gaza, per 25 Agustus 2025.

Serangan “Double-Tap” ke Rumah Sakit Nasser

Pada Senin, 25 Agustus 2025, militer Israel melancarkan serangan ganda ke Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, Gaza selatan. Serangan pertama menghantam lantai atas gedung rumah sakit. Beberapa menit kemudian, saat jurnalis dan tim penyelamat dengan jaket oranye bergegas membantu korban, serangan kedua menghantam lokasi tersebut, menewaskan 21 orang, termasuk lima jurnalis: Mohammad Salama (Al Jazeera), Hussam al-Masri (Reuters), Mariam Abu Daqqa (Associated Press), Ahmed Abu Aziz (Middle East Eye), dan Moaz Abu Taha (kontributor NBC).

Dr. Ahmed al-Farra, Kepala Departemen Pediatri Rumah Sakit Nasser, melaporkan bahwa serangan kedua sengaja menargetkan tim penyelamat, memperparah jumlah korban. Serangan ini terjadi di tengah operasi militer Israel yang diperluas ke Gaza City, meningkatkan risiko bagi warga sipil di wilayah padat penduduk.

Kecaman Sekjen PBB António Guterres

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengecam keras serangan ke Rumah Sakit Nasser melalui juru bicaranya, Stéphane Dujarric. “Pembunuhan warga Palestina, termasuk tenaga medis dan jurnalis, menyoroti risiko ekstrem yang mereka hadapi dalam konflik brutal ini,” ujar Dujarric, seperti dilansir UN.org. Guterres menegaskan bahwa warga sipil, termasuk pekerja medis dan jurnalis, harus dilindungi sesuai hukum humaniter internasional.

Guterres menyerukan penyelidikan cepat dan imparsial atas insiden ini, menekankan bahwa Rumah Sakit Nasser dan fasilitas medis lainnya tidak boleh menjadi target militer. Ia juga mengulang seruan untuk gencatan senjata permanen, akses kemanusiaan tanpa hambatan, dan pembebasan sandera di Gaza, mencerminkan urgensi mengatasi krisis yang telah menewaskan ribuan warga sipil.

Respons Internasional dan Media

Serangan ke Rumah Sakit Nasser memicu kecaman luas dari komunitas internasional. Prancis, melalui Presiden Emmanuel Macron, menyebut serangan ini “tak tertahankan,” sementara Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy menyatakan “kengerian” atas kematian jurnalis dan tenaga medis. Jerman juga menyerukan investigasi independen. Serikat Jurnalis Palestina menyebut serangan ini sebagai “perang terbuka” terhadap media, bertujuan menghalangi pelaporan kejahatan Israel, seperti dilansir Kompas.com.

Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese, melalui unggahan di X (@FranceskAlbs), mengkritik jurnalis global yang bungkam atas pembunuhan rekan-rekan mereka di Gaza. Ia menyebut kamera jurnalis sebagai “senjata yang paling ditakuti Israel” dan mengusulkan monumen untuk mengenang korban. Al Jazeera menuduh Israel sengaja menargetkan jurnalis untuk “membungkam kebenaran” tentang konflik di Gaza.

Dampak Kemanusiaan di Gaza

Serangan ke Rumah Sakit Nasser memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza, yang telah berlangsung sejak Oktober 2023. Menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), setidaknya 192 jurnalis tewas dalam konflik ini, 189 di antaranya warga Palestina, menjadikan Gaza konflik paling mematikan bagi pekerja media. Kantor Media Pemerintah Gaza melaporkan 244 jurnalis dan pekerja media tewas, sementara PBB mencatat lebih dari 1.500 tenaga kesehatan menjadi korban.

Rumah Sakit Nasser, salah satu dari sedikit fasilitas medis yang masih beroperasi di Gaza selatan, kini menghadapi kerusakan parah, membatasi kemampuan menangani pasien. Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus melaporkan 50 orang terluka dalam serangan ini, termasuk pasien kritis. Krisis kelaparan di Gaza, sebagaimana diungkapkan @UN di X, memperparah situasi, dengan anak-anak kehilangan akses ke layanan kesehatan dan pendidikan.