netter.co.id-Pemerintah Mesir dengan tegas membantah laporan media Israel yang menyebutkan bahwa Kairo mengusulkan agar Hamas menyerahkan senjatanya sebagai bagian dari negosiasi gencatan senjata di Gaza. Dalam pernyataan kepada stasiun televisi Al-Qahera Al-Akhbariya pada 20 Agustus 2025, sumber resmi Mesir menegaskan bahwa fokus proposal mereka adalah gencatan senjata selama 60 hari, bukan pelucutan senjata. Proposal ini, yang telah diterima oleh Hamas dan didukung Qatar, bertujuan membuka jalan bagi negosiasi damai dan pembebasan sandera. Sementara itu, eskalasi militer di Gaza terus berlanjut, dengan kelompok perlawanan Palestina melancarkan serangan terhadap pasukan Israel. Artikel ini mengulas bantahan Mesir, detail proposal gencatan senjata, respons internasional, dan dinamika konflik di lapangan.
Bantahan Mesir terhadap Laporan Israel
Sumber resmi Mesir menolak keras laporan media Israel, termasuk dari stasiun televisi KAN, yang mengklaim bahwa Kairo mengusulkan agar Hamas menyerahkan persenjataannya ke wilayah Mesir sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata. “Laporan itu tidak benar,” tegas sumber tersebut kepada Al-Qahera Al-Akhbariya. Mereka menjelaskan bahwa proposal Mesir berfokus pada penghentian sementara pertempuran selama 60 hari, yang akan menjadi langkah awal menuju gencatan senjata permanen. Negosiasi untuk solusi jangka panjang akan dimulai sejak hari pertama gencatan senjata, dengan penekanan pada pembebasan sandera Israel yang ditahan Hamas dan tahanan Palestina di penjara Israel. Mesir menegaskan bahwa tuduhan pelucutan senjata adalah misinformasi yang dapat mengganggu proses mediasi yang telah melibatkan Qatar dan Amerika Serikat sebagai penjamin.
Detail Proposal Gencatan Senjata
Proposal gencatan senjata yang diajukan Mesir dan Qatar mencakup beberapa poin kunci. Pertama, penghentian operasi militer oleh kedua belah pihak selama 60 hari untuk meredakan ketegangan di Gaza. Kedua, pembebasan bertahap sandera Israel, dengan laporan menyebutkan 10 sandera hidup dan 18 jenazah akan diserahkan selama periode ini. Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan 1.500 tahanan Palestina, termasuk 150 narapidana dengan hukuman seumur hidup. Ketiga, proposal ini memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan tanpa hambatan ke Gaza, yang kini menghadapi krisis kelaparan dan kerusakan infrastruktur. Menurut sumber Palestina, gencatan senjata ini dirancang sebagai “kesepakatan parsial” yang membuka jalan bagi negosiasi lebih lanjut. Proposal ini didukung oleh Presiden AS Donald Trump dan dianggap hampir identik dengan usulan sebelumnya oleh utusan AS Steve Witkoff pada Juni 2025.
Respons Internasional dan Peran Mediator
Hamas dan faksi perlawanan Palestina lainnya menyambut positif proposal gencatan senjata ini tanpa meminta perubahan signifikan. Pejabat Hamas, Taher al-Nunu, dalam wawancara dengan Al-Araby TV pada 19 Agustus 2025, menyebut proposal ini sebagai langkah menuju penyelesaian komprehensif. Qatar, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Majed al-Ansari, mengonfirmasi bahwa usulan ini “98% mirip” dengan rencana Witkoff, yang sebelumnya diterima Israel tetapi ditolak Hamas karena kurangnya jaminan gencatan senjata permanen. Namun, hingga 20 Agustus 2025, Israel belum memberikan tanggapan resmi, meskipun telah menerima dokumen proposal 24 jam sebelumnya. Sumber Mesir menegaskan bahwa pembebasan sandera hanya dapat dicapai melalui negosiasi berbasis proposal ini, menekankan peran AS sebagai penjamin. Tekanan internasional kini tertuju pada Israel untuk merespons, di tengah meningkatnya kecaman atas operasi militernya di Gaza.
Eskalasi Militer di Gaza
Sementara negosiasi gencatan senjata berlangsung, situasi di lapangan tetap memanas. Brigade Al-Quds, sayap militer Jihad Islam, melaporkan dua serangan terhadap kendaraan militer Israel di permukiman Zaytoun, Kota Gaza, pada 19 Agustus 2025. Mereka menggunakan alat peledak yang telah dipasang sebelumnya untuk menghancurkan satu kendaraan dan mengamati evakuasi tentara Israel dari lokasi. Di waktu yang sama, Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, mengonfirmasi penghancuran buldoser militer D9 Israel di lapangan Al-Munasara, juga di Zaytoun. Brigade Al-Nasser Salah al-Din dan Brigade Al-Aqsa turut melancarkan serangan dengan roket dan mortir ke posisi Israel di Khan Yunis dan lingkungan Al-Tuffah. Aksi ini menunjukkan bahwa kelompok perlawanan Palestina tetap aktif di tengah pembicaraan gencatan senjata, memperumit upaya mediasi.
Tantangan Diplomasi dan Krisis Kemanusiaan
Upaya mencapai gencatan senjata di Gaza menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, sikap Israel yang menuntut pembebasan semua sandera sebelum berkomitmen pada penghentian permanen operasi militer menjadi hambatan utama. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dalam pernyataan pada 18 Agustus 2025, menegaskan bahwa kesepakatan harus mencakup demiliterisasi Gaza dan pelucutan senjata Hamas, syarat yang ditolak keras oleh Hamas. Kedua, krisis kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dengan laporan Kementerian Kesehatan Gaza mencatat lebih dari 62.000 warga tewas sejak Oktober 2023. Blokade Israel telah memperparah kelaparan dan kekurangan medis, mendorong organisasi internasional menyerukan akses bantuan tanpa syarat. Mesir dan Qatar terus bekerja sama untuk menjembatani perbedaan antara kedua belah pihak, tetapi keberhasilan gencatan senjata bergantung pada fleksibilitas Israel dan Hamas dalam negosiasi.
Peran Komunitas Internasional
Komunitas internasional memainkan peran penting dalam mendorong gencatan senjata. Selain Mesir dan Qatar, Amerika Serikat, di bawah pemerintahan Trump, telah menunjukkan keterlibatan aktif melalui dukungan diplomatik. Namun, sikap AS yang condong mendukung Israel memicu kritik dari beberapa negara Eropa dan organisasi hak asasi manusia, yang menyerukan penegakan hukum internasional. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sedang menyelidiki dugaan kejahatan perang oleh Israel di Gaza, menambah tekanan pada Tel Aviv untuk menerima gencatan senjata. Sementara itu, protes publik di Israel, yang menuntut pembebasan sandera, meningkatkan urgensi untuk mencapai kesepakatan. Negosiasi di Kairo, yang melibatkan delegasi Hamas dan pejabat Qatar, diharapkan dapat menghasilkan kemajuan dalam beberapa hari ke depan, tetapi ketegangan militer yang terus berlanjut mengancam stabilitas proses ini.