Netter.co.id – Upacara Sekaten di Yogyakarta dan Surakarta adalah wujud harmoni antara budaya Jawa dan ajaran Islam yang penuh makna spiritual dan tradisi luhur.
Setiap tahun, masyarakat Jawa menyambut datangnya bulan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan sebuah tradisi megah dan penuh makna yang disebut Upacara Sekaten.
Tradisi ini bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga menjadi bentuk nyata perpaduan antara budaya Jawa dan nilai-nilai Islam yang telah berakar kuat sejak berabad-abad lalu.
Upacara Sekaten hingga kini masih dilestarikan, terutama di dua keraton besar di Jawa, yaitu Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta (Solo). Selain sebagai sarana dakwah, Sekaten juga menjadi simbol kebersamaan, syukur, dan pelestarian budaya Nusantara.
BACA JUGA : Baku Tembak Polisi Brasil dengan Geng Narkoba di Rio de Janeiro
1. Asal-Usul dan Sejarah Upacara Sekaten
Asal mula Sekaten tidak bisa dipisahkan dari sejarah penyebaran Islam di Jawa pada abad ke-15.
Tradisi ini diperkirakan pertama kali diadakan oleh Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga, sebagai media dakwah untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa yang saat itu masih kuat dengan tradisi Hindu-Buddha.
Nama Sekaten diyakini berasal dari kata “Syahadatain”, yaitu dua kalimat syahadat yang menjadi simbol keimanan umat Islam.
Melalui kegiatan ini, masyarakat diajak untuk mengenal dan memahami Islam dengan cara yang akrab — melalui musik gamelan, doa, dan upacara adat yang dikemas dengan nuansa budaya lokal.
Dari sinilah, Sekaten menjadi simbol akulturasi budaya dan agama yang harmonis antara tradisi Jawa dan Islam.
2. Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Sekaten
Upacara Sekaten diadakan setiap tahun pada bulan Rabiul Awal (bulan Maulid) dalam kalender Hijriah, bertepatan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Puncak acara biasanya jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal, hari kelahiran Nabi.
Di Yogyakarta, upacara ini dipusatkan di Masjid Gedhe Kauman yang terletak di sebelah barat Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta.
Sementara di Surakarta (Solo), Sekaten digelar di Masjid Agung Surakarta, yang juga bersebelahan dengan Keraton Kasunanan.
Kedua tempat tersebut menjadi pusat kegiatan religius dan budaya, menarik ribuan pengunjung dari berbagai daerah untuk ikut menyaksikan prosesi sakral ini.
3. Rangkaian Acara dalam Upacara Sekaten
Upacara Sekaten terdiri dari beberapa rangkaian acara yang berlangsung selama beberapa hari, masing-masing memiliki makna simbolis yang mendalam:
a. Miyos Gangsa (Keluarnya Gamelan Sekaten)
Rangkaian dimulai dengan keluarnya gamelan Sekaten dari keraton menuju masjid agung.
Terdapat dua perangkat gamelan yang digunakan: Kyai Gunturmadu dan Kyai Nogowilogo.
Keduanya dipercaya memiliki nilai spiritual tinggi dan hanya dimainkan pada saat Sekaten.
b. Tabuhan Gamelan Sekaten
Selama seminggu penuh, gamelan tersebut ditabuh siang dan malam di halaman masjid.
Irama khas gamelan Sekaten memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat.
Dahulu, suara gamelan digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menarik perhatian warga agar datang ke masjid dan mendengarkan ceramah tentang ajaran Islam.
c. Upacara Garebeg Maulud
Puncak acara Sekaten ditandai dengan Garebeg Maulud, yaitu prosesi kirab Gunungan dari keraton menuju masjid.
Gunungan terbuat dari hasil bumi seperti sayur, buah, dan makanan, disusun membentuk kerucut tinggi.
Setelah didoakan, Gunungan dibagikan kepada masyarakat karena dipercaya membawa berkah dan simbol kemakmuran.
d. Pasar Malam Sekaten
Selain kegiatan religius, Sekaten juga dimeriahkan dengan Pasar Malam Sekaten (PMPS) yang berlangsung di Alun-Alun Utara.
Pasar ini menjadi ruang hiburan rakyat dengan beragam wahana permainan, kuliner tradisional, hingga pertunjukan seni lokal.
Inilah wujud nyata perpaduan spiritualitas dan keceriaan budaya rakyat dalam satu perayaan besar.
4. Makna Filosofis dan Nilai Spiritual Sekaten
Setiap unsur dalam Upacara Sekaten mengandung nilai-nilai luhur dan pesan moral yang mendalam:
- Gamelan Sekaten melambangkan dakwah yang damai — mengajak umat melalui seni dan keindahan, bukan paksaan.
- Gunungan adalah simbol kesejahteraan, rasa syukur, dan kesadaran berbagi rezeki antar sesama.
- Prosesi dari Keraton ke Masjid melambangkan keselarasan antara dunia (keraton) dan spiritualitas (masjid).
- Pasar Malam Sekaten menunjukkan bahwa perayaan keagamaan juga bisa menjadi ruang kebersamaan dan ekonomi bagi rakyat.
Dengan demikian, Sekaten bukan sekadar upacara, melainkan cerminan falsafah hidup orang Jawa yang selalu mencari keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara budaya dan agama.
5. Pelestarian Sekaten di Era Modern
Di tengah arus modernisasi, Upacara Sekaten tetap bertahan dan bahkan menjadi salah satu warisan budaya tak benda yang dilestarikan oleh pemerintah.
Kegiatan ini tidak hanya menjadi daya tarik spiritual, tetapi juga ikon pariwisata budaya Yogyakarta dan Surakarta yang mendunia.
Pemerintah daerah bersama keraton terus melakukan berbagai upaya agar tradisi ini tetap relevan bagi generasi muda, seperti:
- Melibatkan seniman muda dalam pementasan gamelan Sekaten.
- Menjadikan Sekaten sebagai sarana edukasi budaya dan sejarah di sekolah-sekolah.
- Memperkuat pengelolaan Pasar Malam Sekaten agar lebih tertib dan ramah lingkungan.
Kombinasi antara nilai sakral dan hiburan rakyat membuat Sekaten terus dicintai masyarakat lintas usia dan latar belakang.
6. Sekaten Sebagai Identitas Budaya Jawa
Sekaten bukan hanya perayaan tahunan, melainkan penegasan identitas budaya Jawa yang religius, terbuka, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Tradisi ini menunjukkan bahwa Islam di Nusantara tumbuh dengan pendekatan budaya, bukan konfrontasi, sehingga mampu melebur dengan adat lokal tanpa kehilangan makna spiritualnya.
Melalui Sekaten, nilai-nilai luhur seperti gotong royong, syukur, dan kebersamaan terus diwariskan.
Upacara ini menjadi bukti bahwa harmoni antara budaya dan religi bisa melahirkan tradisi agung yang mendamaikan dan memperkaya jiwa bangsa.
Kesimpulan
Upacara Sekaten adalah perwujudan nyata dari perpaduan budaya Jawa dan ajaran Islam yang telah terjalin ratusan tahun.
Dengan simbol-simbol yang sarat makna — mulai dari gamelan, gunungan, hingga pasar malam — Sekaten menjadi bentuk dakwah kultural yang mendalam sekaligus pesta rakyat yang menggembirakan.Lebih dari sekadar tradisi, Sekaten adalah cermin kebijaksanaan leluhur Jawa dalam menjaga keseimbangan antara iman dan budaya.
Selama masyarakat masih menghargai akar tradisinya, Sekaten akan terus hidup, berdentang seiring alunan gamelan yang mengajak setiap insan untuk bersyukur dan berbahagia dalam harmoni.
